Aduh kalau ingat awal pertama covid-19 masuk ke Indonesia, begitu hebohnya. Media televisi maupun media koran gencar sekali memberitakannya. Belum lagi media sosial, hampir tiap detik ada saja yang mengshare berita tentang itu wabah yang konon sangat mematikan. Ditambah lagi, kabar lewat lisan, yang ini dan itu. Bikin isi otak ini penuh dengan masalah wabah itu. Saya jadi paranoid sekali, bahkan saya beberapa bulan tidak ikut salat jamaah Jumatan. Disamping dikarenakan ada pelarangan, ya saya juga takut tertular. Kenyataannya, ditempat saya aman-aman saja.
Ternyata wabah covid-19 belum ada kabarnya juga kapan akan berlalu. Diseberang sana, yang katanya awal terjadinya wabah sudah bisa menyelasaikan masalahnya. Eh disini masih berkutat dengan peraturan-peraturan yang kadang membingungkan. Iya bikin bingung, bingung bagi saya pribadi. Ada sanksi sosial bagi yang melanggar protokol kesehatan. Bahkan dipermalukan, disuruh mengenakan baju orange disuruh menyapu dan belum lagi kena denda administrasi. Saya yakin niatnya baik,agar virus ini bisa terputus mata rantainya.
Warga disuruh kerja dan kegiatan dari rumah. Keluar rumah bagi yang terpaksa dan memang jika perlu. Anjuran yang sangat baik. Tapi kadang pemerintah lupa, hanya memberikan bantuan bansos yang mampu dipergunakan dalam hitungan hari. Tapi bikin peraturan sangat ketat banget. Ya terpaksa, warganya tetap harus beraktivitas seperti biasanya dalam mencari nafkah. Karena ada kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Entah itu bayar tagihan kost, listrik, PAM belum lagi harus menjami kuota internet anaknya tersedia agar bisa terus mengikuti pelajaran daringnya.
Bagi pegawai buruh harian. Peninglah kepala. Mencari duit begitu sulitnya, kebutuhan yang bulanan harus tepat waktu. Sebuah pilihan yang sulit. Keluar rumah terpapar virus corona yang bisa menyebabkan kematian. Dirumah tidak kerja, matilah kelaparan. Jika masih ada tabungan, mungkin masih bisa tertolongkan. Bagi yang tidak punya, terpaksa harus menggadaikan barang berharganya. Dan itu pun masih untung bagi yang punya barang berharga. Yang tidak?
Ya pada intinya semoga wabah ini cepat usai dan segera bisa ditangani. Obat bisa ditemukan. Kalau berharap dari Bansos terus, kadang kasihan juga negara. Petugas pembagi bansos bingung, karena antara jatah dan warga yang menerima tidak sesuai. Jika tidak dibagi rata, terjadi kecemburuan sosial. Jika dibagi rata, bansosnya tidak temoto (terlalu kecil/sedikit dapatnya). Ya akhirnya terjadi praduga yang tidak baik. Saling timbul prasangka buruk. Kapan ekonomi ini bisa lancar lagi? Cari rezeki mudah tanpa harus main petak umpet dengan petugas satpol PP.
Saat main ke Mal Artha Gading, saya dapat gerai-gerai disana masih banyak yang belum buka. Masih banyak yang tutup. Bahkan kayaknya sudah ada yang gulung tikar. Seandainya ada yang buka pun, sepi pembeli. Benar-benar sepi lo, tidak seperti hari biasa sebelum ada wabah, yang kadang pengunjung sampai berjubel dan gerai-gerai saling berdempet.
Ngapain ke mal Artha Gading? Oh iya sampai lupa. Saya ke Mal Artha Gading, Jakarta Utara ingin memperpanjang SIM yang mendekati kadaluwarsa. Masak aktif kartu SIM yang tinggal beberapa hari. Emang disana ada gerai SIM? Ada dong, sudah sejak lama ada, kemungkinan lima belas tahun lebih. Sebab saya sudah tiga kali memperpanjang sim kendaraan disana.
Sebelum masuk ke Mal, saya dicek atau diperiksa suhu tubuh. Dan Alhamdulillah dinyatakan aman, dan diperbolehkan masuk. Langsung deh saya menuju lantai tiga B1 nomor 10-11 tempat atau rungan gerai SIM. Wow disana sudah padat dan ramai orang, terjadi antrian panjang. Saya menulis di kertas yang tertempel dikaca dapat nomor deretan 57. Ada harapan cemas, apakah saya nanti dapat nomor urut dan bisa memperpanjang SIM saat itu juga. Oh iya, jangan lupa pakai masker.
Saya pun menuggu sampai petugas datang. Eh eh, petugasnya datang jam 12 siang. Amazing banget ya, jam 12 siang gerai baru dibuka. Sedangkan saya datangnya dari jam 09.30. Lelah menunggu, bahkan sampai saya tertidur. Petugas pun memberi pengumuman bahwak kuota perpanjang SIM saat itu jatahnya 60 orang yang biasanya hanya 50. Legalah hati ini. Berarti saya mendapatkan kesempatan.
Tahap pertama adalah semacam pengisian formulir, tapi yang mengisi adalah mbak-mbak cantik atau petugasnya. Ditanya tinggi badan, berat badan dan golongan darah. Serta menyerahkan KTP dan SIM yang akan diperpanjang. Karena saya tidak menyertakan fotocopian kedua dokoment tersebut, saya kena biaya lima ribuan untuk biaya fotocopy-an. Plus biaya 55ribu, entah untuk apa, kemungkinan untuk biaya cek kesehatan. Saya lupa bertanya, dan mbak petugasnya tidak menjelaskan.
Saya pun disuruh menunggu, untuk sesi pemotretan. Nah disesi inilah yang paling memakan waktu lama, alias harus sabar menunggu. Jam empat sore lebih, baru mendapat giliran pemotretan. Tidak hanya dipotret, tapi juga tanda tangan dan sidik jari. Diruang photo saya kena administrasi 80ribu karena SIM yang saya perpanjang adalah SIM A. Kalau untuk SIM C kena biaya 75 ribu.
Akhirnya SIM A baru saya jadi deh. Eh ternyata kini ada perubahan warna kartu SIM, dibagian atasnya berwarna merah. Dan untuk ukuran ketebalan sedikit lebih tipis jika dibandingkan dengan SIM lama. Dan untuk tanggal kadaluwarsa, tidak lagi mengikuti tanggal lahir. Tapi sesuai dengan tanggal kartu SIM itu diterbitkan. Wah, harus punya daya ingat ekstra dan harus sering lihat kartu SIM. Jika sampai kelewatan tanggal bisa repot, karena mengurusnya harus di pusat SAMSAT, Daan Mogot. Itu pun harus mengikuti prosedur awal pembuatan SIM baru ikut test berkendara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar