Kapan virus ini akan berakhir, belum ada jawaban pasti. Pantas saja jika hampir diseluruh negara mengalami goncangan hebat. Termasuk Indonesia, yang kini kayaknya hampir mengalami gelombang tajam peputusan hubungan kerja, PHK. Ya, akan banyak orang kehilangan mata pencahariannya. Pengangguran semakin membludak, bertambah banyak. Yang saya amati saat ini saja, pekerja yang sementara dirumahkan atau diliburkan saja sudah tidak terhitung.
Bagaimana tidak pusing dan pening. Sedangkan bulan puasa sudah diambang pintu. Kebutuhan banyak, sedangkan sudah tidak bekerja. Pendapatan tidak ada. Seandainya berwirausaha, daya beli masyarakat sangat menurun tajam. Mana bisa untung, jika sepi pembeli. Apalagi, sekarang dimana-mana diberlakukan PSBB. Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Tetangga saya yang awalnya bekerja di luar negeri, kini terpaksa pulang. Ya, karena dipulangkan. Walau sebenarnya tidak ingin pulang. Proyek-proyek disana dihentikan untuk sementara dengan batas waktu yang tak terbatas. Diluar ngeri tidak menentu, di dalam negeri juga kondisinya sama. Bahkan lebih tidak menentu lagi.
Pemerintah hanya menghimbau dan menghimbau. Tapi kayaknya juga kurang atau belum perduli dengan kondisi masyarakatnya. Antar petinggi, bicaranya juga tidak kompak, jadi masyarkat lebih tambah bingung. Mana yang mau dianut dan siapa yang akan menjadi panutan. Yang satu bilang A, yang lain bilang B. Atau hari ini bilang A, berapa detik lagi bilang B. Ya, akhirnya masyarakat mengambil keputusan sendiri. Pastinya demi agar dapur tetap berasap. Keluarganya tetap bisa makan.
Walau keluar rumah penuh resiko. Tapi jika tidak keluar rumah, anak-istrinya mau makan apa? Tahu sendiri kan, anak-anak diwajibkan belajar di rumah, pastinya butuh biaya internet. Ibadah di masjid juga dilarang, sedangkan dengan di masjid hatinya menjadi tenang. Ada kepasrahan jiwa. Hanya disitulah bisa menghibur diri. Kalau ibadah dirumah, hati tambah nelangsa. Memikirkan biaya listrik, air dan sebagainya. Itu belum bicara soal makan.
Yang jelas rakyat sebenarnya mau di rumah tapi siapa yang menjamin di rumah perut tetap bisa kenyang. Walau pun dia sadar, jika keluar rumah belum pasti juga mendapatkan uang. Sebuah pilihan yang sama-sama tidak menyenangkan. Maka saya bisa menyadari dan memaklumi jika masih ada yang bandel keluar rumah. Bukan berarti dia abai dengan keselamatannya.
Aduh, saya ini bicara apa sebenarnya. Kayaknya ngalur-ngidul tidak jelas. Benar-benar amburadul. Ya, pastinya saya mah berharap, semoga virus ini bisa secepatnya berlalu. Dan pemerintah juga benar-benar lebih perduli dengan rakyatnya. Jangan hanya sibuk dengan data-data korban virus corona. Tiap hari diumumkan terus, saya sendiri sampai benar-benar dibuatnya neg. Karena jika sudah urusan perut lebih bahaya dari pada urusan virus itu sendiri. Indonesia, punya sejarah buram. Ah, bisa jadi saya yang salah. Dan bisa jadi saya yang terlalu emosi. Bisa jadi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar