Hari pertama diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Jakarta, jalanan tampak lenggang. Walau masih ada sedikit kendaraan yang berlalu lalang. Saya pun menyempatkan diri untuk keliling, untuk mengetahui kondisi sebenarnya. Kelilingnya hanya dalam cangkupan tidak jauh pastinya. Masih dalam satu kelurahan. Walau sebenarnya ingin keliling lebih jauh, tapi karena tidak begitu penting banget ya terpaksa saya urungkan.
Sebenarnya saya ke luar rumah hanya ingin mencari hawa segar. Merefreshkan isi kepala yang begitu pening dan buntunya. Iya lo, dirumah terus itu sungguh suntuk, setres melanda jiwa. Kepala terasa berat banget, seperti memikul beban batu yang berkilo-kilo. Kalau tidak keluar rumah, tidak kebayang betapa sakitnya ini kepala. Akhrinya saya pun memaksakan diri keliling atau jalan-jalan.
Walau penuh resiko dan saya menyadari itu. Saya berani karena menurut pantauan saya ,ditempat saya tinggal masih dalam keadaan aman. Belum ada kabar, warga yang sakit atau meninggal karena covid-19. Puskemas dan Rumah Sakit terdekat juga sudah saya mintain informasi, belum ada pasien penderita virus corna tersebut. Tambah beranilah saya ke luar rumah.
Berbekal kamera handphone, saya jalan-jalan. Siapa tahu nanti ada moment atau suatu hal yang sekiranya layak dan laku untuk diberitakan. Jiwa tukang photo, emang begitu. Apa-apa yang dipikirkan photo melulu. Ya begitulah, hoby dan hiburan saya emang dikit-dikit jepret. Suka memotret. Sebenarnya ada rasa kurang percaya diri, merk hape masih kelas pinggiran ,belum lagi kualitas kameranya masih tergolong pas-pasan. Rencana seh, awal tahun ingin beli hape baru, eh ternyata ada wabah seperti ini, job jadi sepi. Apa boleh buat, impian harus tertunda.
Wah, saya kok jadi berkeluh kesah ya. Jadi sambat begini. Sebenarnya masih ada sambatan lain. Jakarta kini melakukan atau menerapkan peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Niatnya seh bagus, agar virus corona tidak semakin kemana-mana. Agar penanganan terhadap penyakit ini lebih bisa focus. Tidak terjadi kelonjakan pasien akibat virus ini.
Tapi efek dari peraturan ini adalah roda perekonomian jadi seret. Sudah tiga minggu saja, masyarakat sangat mengeluhkan beban kehidupannya. Apalagi ini ditambah lagi masanya, kemarin dengan istilah karantina wilayah kini dengan istilah PSBB. Ini Jakarta, semua serba duit. Air duit, Listrik duit. Walau sudah ada keringanan dari pemerintah untuk listrik, itu pun bagi golongan tertentu. Soal air, belum ada kabarnya. Aduh,...gimana ini ya!
Semoga saja pemerintah memperhatikan dan mendengarkan jeritan warganya. Kalau masih ada tabungan mungkin tidak jadi masalah. Bagi yang kerjanya serabutan? Terasa banget, belum lagi anak-anaknya yang sekolah butuh biaya beli kuota internet. Nangislah! Aduh, apakah teriakan rakyat kecil ini bisa terdengarkan? Atau hanya menjadi pantulan yang kembali ke dirinya sendiri, sehingga tiada makna dan harapan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar