Saya itu sering membaca status yang begitu membenci hutang. Sampai memaki-maki atau merendahkan orang yang punya hutan. Mungkin dia merasa lagi tak punya hutang, atau mungkin lagi merasa kecukupan. Tak ingat atau lupa saat masih sekolah yang suka beli gorengan, saat bayar moji, makan lim0 bayar siji. Makan lima gorengan, ngakunya makan satu. Eits, saya ini lagi ngomongin teman saya yang bernama Sengkuni lo. Teman karib saya saat masih satu sekolah taman kanak-kanak.
Hutang itu juga termasuk bagian dari rezeki. Karena jika kita mendapatkan hutang, berarti kita diberi atau mendapatkan kepercayaan. Wow tidak sembarang orang bisa mendapatkan kepercayaan. Belum lagi, dengan berhutang kita bisa makan juga. Dengan berhutang, kita bisa membayar biaya sekolah dan sebagainya. Nah, karena hutang itu termasuk rezeki, makanya saya berusaha untuk tidak mencelanya. Dan hutang juga bukan bagian dari keaiban. Hal biasa, hutang-piutang dalam bersosial.
Orang kaya saja, yang duitnya bertumpuk-tumpuk. Punya perusahaan dimana-mana, juga masih ada yang punya hutang kok. Belum lagi negara, yang katanya punya segala asetnya. Dari udara, tanah dan air yang dikuasainya, juga berhutang. Apalagi sekelas saya, ho ho ho..... Wajar bukan?
Dulu, saat saya msih kost. Kalau makan ke warung, ya berhutang. Nanti bayarnya akhir bulan setelah terima gajian. Waktunya gajian, tinggal itu lihat catatan bonnya. Kalau pas gaji gede karena ada lemburan, ya langsung dilunasi. Kalau tak ada lemburan, bayarnya separuhnya dulu. Dan pemilik warung, memaklumi.
Tapi kini? Wah warung-warung sudah memasang tulisan "Dilarang Utang", "Dilarang Bon". Saya yang melihatnya saja langsung ketakutan. Tak berani makan, sekiranya duitnya pas-pasan. Walau sebenarnya ada niat utang juga. Wah wah, kenapa bisa gitu ya?
Saya pun pernah menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan pemilik warung. Menanyakan alasan memajang tulisan "Dilarang Bon". Kenapa sampai tak membolehkan orang untuk berhutang? Bukannya dengan adanya yang berhutang, langganannya tambah banyak dan setia-setia? Apalagi, kanan-kirinya kan penghuni kost yang bekerjanya sebagai karyawan pabrik, yang terima duitnya sebulan sekali.
Apa jawaban dari pemilik warung? "Aduh mas, jaman sekarang, galakan yang punya hutang. Kalau ditagih, banyak ngeles dan menghindarnya. Yang lebih parah lagi mas, kalau hutangnya sudah numpuk, main kabur atau pindah kost atau pulang kampung. Rugilah saya mas!". Saya mendengarkan sambil mangut-mangut. Jangan-jangan saya juga pernah menjadi bagian orang-orang itu. Terus kemana lagi, saya akan mencari hutangan makan nih! Hukun sosial yang ternoda, jadi susah cari hutangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar