Saya itu selalu berusaha melihat sesuatu itu dari segi kebaikannya saja. Walau untuk menuju hal seperti itu tidaklah mudah. Perlu sebuah perjalanan, pengalaman dan spiritual yang panjang. Eleh, mirip mbah dukun saja gaya pituahnya. Benar lo, awal-awalnya kalau melihat sesuatu yang tidak disukai, bawaannya itu ngeceplos dengan nada emosi. Marah-marah, naik pintam atau naik darah. Kalau perlu, perobotan yang ada didekatnya ikut menjadi pelampiasan. Lembar dan pecahkan. Walau nanti akhirnya menyesal dengan sendirinya. Ah, yang namanya menyesal itu ya memang diakhir peristiwa.
Seperti halnya, saat saya masih kerja di kantoran. Wah teman saya itu banyak sekali. Ada saja teman yang main ke rumah. Pokoknya rumah saya itu tidak atau jarang sepi. Pada ngumpul-ngumpul sambil seruput minum kopi. Wajah saya di jalan saja, banyak yang mengenalnya. Ada saja yang menyapa walau hanya sekedar berhalo say. Setelah saya resign kerja alias nganggur, pelan-pelan, satu demi satu teman saya sunyi senyap kabarnya. Kini hampir tiada yang main ke rumah. Kayak tiada orang yang mengenal saya lagi.
Tapi ya itu saya bisa mengambil dari segi positifnya. Memang harus seperti itu sunah alam, pas kerja banyak teman dan saat nganggur sedikit teman. Kalau bahasa gaulnya, kalau lagi jaya banyak teman yang datang, eh giliran susah, teman enggan untuk datang, pada menjauh. Sekali lagi, itu sudah kehendak sang pemberi warna cabe, alias Tuhan. Dan kehendak Tuhan pastinya itulah yang terbaik buat kita, khususnya saya. Jadi tak perlu ada rasa memberontak, kecewa dan sedih. Jalanin dengan santai saja.
Saya pun tidak berani membayangkan, pas saya dirumah pakai koloran dan tidak berbaju. Yang saat masih kerja itu, wah necis, celana panjang dan berkemeja putih. Belum rambut yang klimis, berminyak. Terus dengan tiba-tiba teman datang melihat gaya penampilan saya yang berubah drastis. Pastinya saya malu. Belum lagi, untuk memberikan hidangan, harus cari hutangan ke warung. Pada intinya, Allah ingin menjaga martabat saya dan menjaga isi dompet saya agar tidak semakin tipis-pis. Makanya, saya sangat bersyukur dengan adanya teman menjauh atau tidak datang ke rumah.
Terus kalau manfaat bertengkar atau berantem apa dong? Oh iya ya, saya mau membicakan hal itu kok jadi merempet ke hal kesepian. Kadang saya itu suka tersenyum, jika ada yang bilang atau menghendaki negara ini tentram, adem dan rukun-rukun, alias damai selamanya. Sedangkan dia sendiri sama keluarganya tak akur, alias bermusuhan. Ah, itu juga tak salah seh, namanya berharap kan tidak dosa. Bertengkar itu juga penting, biar negar inia ramai. Asal jangan saling membunuh ya!
Coba perhatikan pula, dengan adanya tidak akurnya sesama pedagang. Akan terjadi persaingan harga. Konsumen yang lebih diuntungkan. Bisa mendapatkan harga yang lebih murah. Dan kalau kita cermati pula, perabotan rumah tangga, awal diciptakan buat peralatan atau mendukung di medan perang juga. Semisal penanak nasi listrik, rice cooker. Itu baru urusan penanak nasi, belum lagi soal alat komunikasi dan transportasi.
Soal budaya atau keyakinan, awalnya mulanya bisa menyebar kebelahan dunia, juga akibat dari peperangan. Orang yang kalah perang harus terusir dari kampung atau negaranya. Menjadi transmigran mencari suaka di tempat lain. Atau penjajah memperkenalkan budaya barunya kepada negara taklukannya.
Nah, itulah kurang lebihnya manfaat dari bertengkar atau berantem. Bagaimana harus menyikapinya? Jika itu sudah menjadi kehendak dan takdir Tuhan, tak perlu menyikapi dengan serius. Santai dan enjoy aja. Coba tengok pula, dulu nenek kita sangat benci dan anti sama itu Jepang, eh kini giliran anak cucu, kalau barang bukan buatan Jepang, kurang puas. Apalagi soal mantan, yang tiba-tiba pamer bojo. Tak perlu sakit hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar