Pelarangan Ondel-Ondel Buat Sarana Ngamen Kurang Efektif, Kenapa?

Ondel-Ondel Betawi

Tanggal 24 Maret 2021, Pemerintah DKI mengumumkan atau menetapkan pelarangan ondel-ondel sebagai sarana untuk mengamen. Dasar penetapan larangan tersebut perpayung hukum atau berdasarkan Pergup 11/17. Dalam pergup tersebut, dijelakan fungsi dari ondel-ondel, pada intinya mah, bahwa ondel-ondel sudah menjadi icon kebudayaan masyarakat Betawi. Harus mendapatkan posisi yang terhormat atau layak.

Saya sempat membaca sejarah dari ondel-ondel itu sendiri. Konon, ondel-ondel itu sebagai sarana upacara adat untuk mengusir arwah jahat. Lama-kelamaan menjadi sebuah pertunjukan kesenian. Semakin terkenela luas, tatkala pertunjukan kesenian tersebut keluar masuk perkampungan atau gang-gang. Saya mengenal ondel-ondel juga berkat pengamen keliling tersebut.

Nah persoalannya, setelah dijadikan atau menjadi icon pemerintah DKI, kenapa tidak boleh buat mengamen lagi? Apakah karena kini ondel-ondel sudah menduduki tempat tertinggi, sehingga rakyat kecil tidak boleh menggunakan sebagai sarana buat cari makan? Entahlah. Itu sekedar sebuah pertanyaan. Pertanyaan dari rakyat kecil yang kesulitan untuk mengenyangkan perutnya. Atau mungkin pelarangan ondel-ondel sebagai sarana mengamen karena ada orang yang memanfaatkan anak-anak kecil untuk mengemis? Entahlah.

Semenjak diberlakukan larangan untuk mengemis, di Pintu BKT Duren Sawit, Jakarta Timur yang biasanya kalau di Minggu pagi, ondel-ondel pada ngumpul. Kini nampak sepi. Hanya terlihat dua pasang ondel-ondel yang datang. Mungkin sanggar ondel-ondel Betawi yang lainnya ingin  tiarap dulu. Takut kena razia Satpol PP. Ah BKT jadi sepi, dengan tidak kehadiran banyak ondel-ondel. Pengunjung merasa kecewa.

Youtuber Ondel-Ondel

Saya pun berkunjung ke sanggar ondel-ondel guna bertanya tentang respon atau tanggapan dari pelarangan ondel-ondel sebagai sarana untuk mengamen. Sebagian ada yang takut, yang kini beralih profesi menjadi badut keliling. Sebagian menanggapi dengan santai saja, dan tetap keliling. Dengan jawaban klasik, "Daripada saya mencuri, lebih baik saya menjadi ondel-ondel keliling", "Anak dan istri keluarga saya perlu makan, emang pemerintah mau kasih makan?"

Pelarangan ondel-ondel buat pengamen, dari sisi pandangan pemerintah DKI mungkin naitnya bagus. Agar ondel-ondel yang kini melekat atau identik dengan budaya Betawi terjaga srata kedudukannya. Tapi perlu diingat atau menjadi bahan perimbangan pula, situasi seperti ini. Dalam festival budaya masyarakat, seperti acara sunatan atau resepsi pernikahan, sudah jarang banget mengundang atau menanggap ondel-ondel. Otomatis, pemilik sanggar ondel-ondel yang merasakan dampaknya. Sepi job.

Tidak ada pelarangan ondel-ondel keliling sudah menciptakan pengangguran baru. Apalagi dengan ditambah pelarangan, lengkaplah sudah. Tidak hanya kru atau tukang ider ondel-ondel saja yang kena imbasnya. Tapi pengrajin ondel-ondel juga akan merasakan dari peraturan pelarangan tersebut. Semoga saja, ada solusi terbaik dari pelarangan ondel-ondel tersebut. Pemerintah DKI memberikan ruang pentas seni, agar ondel-ondel bisa beratraksi. Sehingga masyarakat tetap mendapatkan hiburan yang murah meriah, kalau perlu gratis. 

Atau pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih luas bagi masyarakatnya. Menjadi ondel-ondek keliling juga tidak enak, resikonya juga besar. Dari ketabrak kendaraan maupun terjatuh saat atraksi ngibing. Belum lagi dari harga ondel-ondel itu sendiri, perlu modal lumayan besar. Satu ondel-ondel bisa berkisar lima jutaan, belum lagi dari alat pengiring musiknya. Ya suduhlah, saya hanya sekedar penikmat seni ondel-ondel. Sebagian saya juga numpang makan dari seni ondel-ondel itu sendiri.

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Back To Top