Sudah empat bulan pandemi covid-19 menyerang Indonesia. Tapi belum ada kepastian kapan akan berakhirnya. Dan kabar tentang penemuan vaksin penyembuhan juga masih simpang siur. Kehidupan terasa melambat. Harapan akan masa depan tampak sempit, benar-benar suram. Buram, tertutup kabut duka. Ada rasa putus asa, ingin bertahan tapi apa daya. Tenaga terus terkuras. Hanya ada sisa-sisa kepasrahan.
Kolesi photo ini, saya ambil sebelum ada wabah pandemi, sekitar bulan September 2019. Ya, karena kesenangan saya suka memotret. Dan untungnya masih ter-arsip dengan rapi di flashdisk komputer. Memang dan seharusnya, menjadi se-orang blogger itu harus suka terjun langsung kelapangan. Sehingga bisa memiliki koleksi gambar punya sendiri. Ingat, google bisa membaca dengan akurat hasil photo unggahan kita. Dengan kamera merk apa gambar diambil.
Dan kalau bicara soal unggahan photo di blog, saya hampir jarang banget untuk mengkompres photo. Saya unggah apa adanya. Saya orangnya tak mau ribet, lebih focus untuk menulis daripada harus memperkecil ukuran photo unggahan. Dengan photo ukuran original, nanti saat didonwload ulang, hasi photo tetap masih sempurna. Tidak pecah-pecah, resolusi photo masih baguslah. Memang, photo yang terlalu besar resolusinya akan memperberat daya loading blog.
Saya hampir tiap hari senantiasa mampir ke Pasar Cakung yang berada di kelurahan Cakung Barat, Jakarta Timur. Sekedar mampir ngopi atau melihat-lihat aktivitas para pedagang pasar. Tempat saya nongkrong ngopi di Warung Mama Putri. Pasar Cakung lumayan luas dan besar. Karena pasar Cakung terdiri dari tiga block, dua block punya individu, dan yang satunya punya pemerintah Jakarat, Pasar Jaya Jakarta.
Pasar Cakung punya individu, kios atau lapaknya terbuka. Hanya deretan meja-meja lapak pedagang saja. Beda dengan punya lapak Pasar Jaya Jakarta, kiosnya berbentuk kios roling door, mirip kios toko. Kecuali yang lapak ikan dan gading, yang posisinya berada dibelakang, keberadaannya juga terbuka.
Pasar Cakung bukanya pagi hari. Jam dua pagi sampai sekitar jam tujuh pagi. Jam buka yang terlalu singkat pastinya. Walau bukanya hanya sebentar, tapi kalau malam, ramainya luar biasa. Banyak yang berbelanja. Kesiangan sedikit, bisa jadi sudah tidak kebagian. Alias kehabisan. Pada umumnya, pembelinya nanti dijual kembali.
Dimusim pandemi seperti ini, pastinya juga berpengaruh bagi pedagang Pasar Cakung. Sedikit kena imbasnya. Apalagi dengan banyaknya perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja maupun merumahkan karyawannya untuk sementara. Maka banyak para pedagang Pasar Cakung yang mengurangi jumlah item barangnya. Pastinya takut tidak laku maupun tidak habis yang mengakibatkan kerugian.
Sudah pembeli sepi, eh kini Pasar Cakung Ditutup sementara selama tiga hari. Saya pun berusaha untuk mengorek informasi. Tetapi informasi yang saya dapatkan masih simpang siur. Apa sudah ada pedagang yang positif kena Virus Corona, sehingga Pasar Cakung ditutup paksa? Dari beberapa padagang yang saya tanya, jawabannya tidak ada. Nah kenapa pasar ditutup? Entahlah.
Apakah ini akibat dari kebijakan Gubernur, PSBB Transisi diperpanjang? PSBB Jakarta akan berakhir pada tanggal 16 Juli mendatang, terhitung dari tanggal 3 Juli. Kalau membaca dari Kegup, bukan penutupan pasar tapi pembatasan jumlah pengunjung pasar. Maka tampak aneh, jika dilapangan ternyata melakukan penutupan Pasar Tradisional. Aduh, wong cilik hanya bisa pasrah. Para pedagang Pasar Cakung pun mengeluh dan sambat merugi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar